Esai

Menjual Kemiskinan Sebagai Tontonan

Miskin atau pra sejahtera jelas bukan sebuah cita-cita terlebih sebagai tujuan hidup. Melihat rentetan iklan serta sinema yang menampilkan sekat tebal antara kaya dan miskin tentu kaya lebih menggoda serta menggiurkan. Fantasi kehidupan di sinetron tentang lelaki kaya jatuh cinta kepada perempuan miskin terlepas dari alur cerita yang sudah dapat ditebak menyiratkan lebih ditonjolkannya hasrat untuk menjadi kaya. Begitu juga si Kaya yang baik hati ataupun jahat juga melawan karakter si miskin hampir menjadi hiasan ajeg di Televisi. Karakter kaya berarti memiliki sedangkan miskin tidak memiliki. Singkatnya dalam Televisi Indonesia kedua identitas sosio-ekonomi ini selalu dibenturkan, digesekkan serta pemicu keributan mikro.

Memiliki berbagai fasilitas, kemudahan, kenikmatan, termasyur, elitis, itulah gambaran menjadi kaya di Televisi, namun tidak berarti lawan dari kaya menjadi liyan atau bukan tokoh utama. Film Keluarga Cemara paling tidak dapat mengusik kemapanan alur cerita konfrontasi si kaya dan si miskin. Tokoh miskin yang diperankan Abah dan keluarga mendapat sorotan kamera terbanyak tentang pernak-pernik kehidupannya. Kesederhanaan bahkan lebih kepada kekurangan, menjual makanan ringan sembari sekolah, tukang becak adalah gambaran kehidupan Abah dan keluarga. Pertanyannya kemudian begitu menjualkan kemiskinan di Televisi? atau pertanyaan yang memerlukan jawaban yang lebih teknis bagaimana miskin dapat dijual di televisi?

Fantasi Kaya-Miskin di TV

Acara Reality Show Bedah Rumah menegaskan pandangan Prasetyo (2010) yang telah tergambar pada judul bukuya yaitu miskin itu dapat dijual. Kita tidak akan sampai kepada kesimpulan tentang menjual kemiskinan, seandainya meninggalkan cara pandang kajian budaya kontemporer yang dirintis oleh filsuf kontemporer Perancis dan Jerman atau di Indonesia kita dapat mengenal Ariel Heryanto, Piliang dan pakar semiotika lainnya. Acara Bedah Rumah memiliki pakem yang hampir sama tetapi entah mengapa banyak orang yang terus menontonnya. Tahap pertama biasanya perkenalan mengunjungi warga miskin (yang mayoritas orang lanjut usia). Permasalahan muncul ketika si Miskin ternyata mempunyai rumah yang dianggap tidak layak huni, kemudian keluarga tersebut diajak menginap sehari di hotel, makan, mandi, istirahat, sembari menginap di hotel. Kemudian rumah si Miskin dibedah menjadi hunian yang layak huni, diberikan bantuan berupa pembuatan warung kecil atau mungkin ternak kambing atau sapi, setelah menjelang malam diajak pulang kembali. Puncaknya atau antiklimaksnya ketika warga miskin tersebut kembali ke rumah dan melihat rumah telah dalam keadaan yang sangat berbeda serta mendapat bantuan.

Keadaan berikutnya tentu dapat ditebak, parade psikologis mulai menghiasi acara ini yang merupakan jualan utama mereka. Tujuannya tak lain untuk menggugah atau membius penonton yaitu menangis haru, ucapan terima kasih sambil tersedu-sedu, sujud syukur, bahkan pingsan ini dilakukan oleh si Miskin. Begitu juga sang pembawa acara yang seakan merupakan super hero atau pahlawan, dipeluk, dicium dan diucapkan terima kasih dengan berlinang air mata. Membedah acara bedah rumah ini dengan gagasan-gagasan kajian budaya akan kita temukan sebuah kekerasan bersifat subtil (halus) terhadap masyarakat miskin dan adanya reduksi atau peralihan cara pandang hidup yang diadopsi dari gagasan Fromm yaitu dari hidup “menjadi” ke hidup “memiliki”.

Membedah acara bedah rumah ini dengan gagasan-gagasan kajian budaya akan kita temukan sebuah kekerasan bersifat subtil (halus) terhadap masyarakat miskin.

Kita dapat menyimak bagaimana warga yang dibedah rumahnya, diidentitaskan sebagai warga yang berada di tempat tinggal yang kumuh, kotor, tidak sehat. Warga tersebut memiliki sakit yang diderita bertahun-tahun, terlebih dengan pekerjaan hanya buruh, beternak, bertani atau berkebun. Konstruksi “petani miskin”, “buruh miskin” dengan cerita-cerita dari empunya rumah bagaimana sehari-hari menjalani hidup, segera dapat dilabelkan kepada tokoh utama yang rumahnya akan dibedah. Konstruksi awal yang dibangun rumah kumuh, pekerjaan tidak tetap dengan upah rendah, kesehatan rendah, hidup susah dibenturkan dengan pembawa acara yang datang untuk membedah rumah dengan mengendarai Mobil, pakaian mewah, dengan membawa ajudan semua serba dilayani, miskin mulai dihadapkan dengan pahawan kaya yang datang. Pahlawan bedah rumah yang mentereng memiliki kuasa untuk melabelkan “miskin” serta membedah rumah si Miskin yang tidak layak huni.

Sembari rumah dibedah tanpa pemberitahuan kepada empunya, seperti pakem acara Bedah Rumah, kita akan disuguhkan kekerasan halus lain dari si kaya. Seorang yang hidup di Desa ditempat tinggal yang sederhana dengan sehari-hari makan dengan tangan lauk tahu dan tempe diajak hidup di hotel. Kita disajikan pemandangan kebingungan orang desa pertama kali ke kota dan masuk Hotel, bingung nama makan, bingung dengan makanan, cara memakan, dan cara menggunakan alat makan. Kebingungan berlanjut dengan fasilitas kamar hotel, penggunaan alat pemanas air, kasur yang empuk, televisi besar, AC dan sofa.

Petani miskin, buruh miskin masuk hotel dan kebingungan menjadi paradoks yang dianggap lucu dan menghibur. Dianggap lucu karena tingkah bingungnya, menghibur karena menghadirkan suatu pemandangan kontras orang tua berpakaian lusuh masuk hotel mewah dengan pelayanan kelas atas dan terakhir diajak berbelanja di Mall. Penegasan tentang menjadi “orang miskin” kembali diperlihatkan dengan cara membandingkannya dengan  gaya hidup “orang kaya”, suatu kekerasan identitas secara halus yang laku di jual di Televisi, intinya adalah semakin dipertontonkan kemiskinan semakin menjual atau paling tidak memiliki energi hiburan.

Hidup “menjadi” ke Hidup “memiliki

Gagasan lain yang dapat dicerna dari pakem acara Bedah Rumah adalah bagaimana memaknai hidup. Esensi hidup dan kehidupan bagi manusia memang tidak mudah untuk diketahui. Kehidupan yang makin hari makin kompleks menjadikan arti hidup dan kehidupan sendiri membingungkan, namun dalam acara Bedah Rumah telah dibangun suatu gagasan tentang hidup, yaitu hidup adalah tentang “memiliki”. Gagasan ini diambil dari pemikiran Marx tentang kapital dan borjuis sebagai suatu kesadaran hidup yang dapat meniadakan kesadaran hidup orang lain. Terdapat slogan yang segaris dengan gagasan Marx yang telah dikembangkan oleh teoritis lain, “saya belanja maka saya ada” (Emo Ergo Sum).

Jadi diri manusia kini dilihat dari kepemilikan atas kapital, dengan adanya kapital atau modal kita dapat mengkonsumsi barang atau jasa. Konsumsi barang atau jasa juga merupakan mengkonsumsi identitas, bahwa dengan konsumsi kita membentuk diri. Kita tidak sadar telah masuk ke konsumerisme, kita tidak sadar karena telah mengkonsumsi komoditi yang diinginkan bukan dibutuhkan. Warga yang rumahnya dibedah diajak menginap di hotel menunjukan pola bagaimana seseorang harus mengkonsumsi suatu citra menginap di tempat mewah kendati diri sendiri sesungguhnya tidak dapat menjangkaunya. Kita tidak diajarai untuk merefleksikan kehidupan yang tengah dijalani namun diajak menghirup udara AC kelas atas, istirahat di springbed empuk dengan sofa mewah. Makan steak, burger, di hotel atau restoran.

Lebih lanjut pandangan Bourdieu menegaskan kelas yang dominan menunjukan superioritasnya melalui akses kepada budaya dan konsumsi yang tinggi. Si Kaya ingin menunjukan kepada si miskin tentang mengkonsumsi tanda, simbol, citra, keinginan. Konsumsi makan kelas atas, tempat tinggal layak, fasilitas mewah akan membuat pembentukan jati diri seseorang. Jadi hidup tentang memiliki, sehingga dapat mengkonsumsi, bukan menjadi baik, menjadi arif, menjadi ikhlas, menjadi pekerja keras. Kita tidak diperagakan tentang menjadi tabah, tegar dan ulet dalam menjalani sesuatu yang sulit, atau mungkin suatu kesederhanaan, tetapi dipertontonkan tanda, simbol citra yang siap dikonsumsi untuk identitas diri hal ini dapat diraih dengan cara hidup yang berorientasi “memiliki”.

_______________________
Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya
Dosen FISIP Universitas Mahendradatta

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?